SELAMAT DATANG

Kamis, 10 Januari 2013

Hidup Kadang Boleh 'Sembromo'

Bromo. Siapa pula orang Indonesia yang tak kenal? Maksud hati sok bertanya sih buat menyusun kesimpulan sepihak kalo semua orang Indonesia tau apa itu Bromo. Tapi, itu kesimpulan yang ‘sembromo’, heheheh. Kenyataannya, masih banyak warga kita yang boro-boro Bromo, presidennya aja mungkin gak (belum) kenal.
Jadi, sebagai warga negara yang belajar jadi baik, saia dan tujuh pemuda pecinta tanah air dari kantor berinisiatif untuk mengenal lebih dekat Si Bromo.
Kisah bermula dari dua minggu yang lewat. Si Nur Adjie yang balik-bolak komentar “Boseeennn...”, “Capekkk...”, dan istilah-istilah semacamnya di dalam bilik keuangan lama-lama buat bising ini kuping. Sampai akhirnya, muda-mudi divisi keuangannya Erlangga yang terdiri dari C. Putro Asmoro Yanuari, Rendhi Kurniadi, Hafizh Yunanto, Bayu Putro, Dio Rifanda, dan saia berinisiatif untuk membantu Adjie menyalurkan kepenatannya di saluran yang benar, hohohoh..
“Ke Gunung Kelud aja, Mbak. Ada jembatan kayak Great Wall di Cina,” kata Adjie. “Ke Ranu Klakah aja di Lumajang, nanti nginep di rumah warga,” usul Pak Pamoedji Winoto yang eks-aktivis PA SMAN 2 Jember ikutan nimbrung. “Gak usah ke Ranu Klakah, Mbak. Aku pernah ke sana. Tempatnya ya biasah itu,” bisik Adjie sambil manyun-manyunin bibirnya demi ngeyakinin kita-kita, hihihi.. Rute-rute yang diusulin memang gak jauh-jauh dari Surabaya. Wajar aja, jatah libur dari kantor cuma seupil dan kebentur sama ibadah Natal pula. Jadi musti pinter-pinter ngatur waktu. Hasil rembugannya, Bromo berangkat tanggal 22 Desember, balik besok sorenya.
Awalnya, kita niat batasi peserta hanya bujang-bujang lapuk di divisi keuangan. Tapi, karena Fauzi Ramona dari akunting ngerayu mendayu-dayu pas di warung Bu Umi jadilah pesertanya nambah. Lagipula, itung-itung jadi macam final gathering kita sebagai warga Erlangga. Tanggal 7 Januari 2013 nanti Fauzi persis sudah gabung di salah satu perusahaan kelapa sawit di Jakarta.
Karena pesertanya pada lajang semua dengan usia di bawah kepala tiga, sempat muncul kasak-kusuk di kantor. “Wah, yo ngene iki sing tuwek-tuwek nggak diajak nang Bromo. Wedi encok’e kumat,” celetuk Pak Sanusi guyon dalam konteks protes, eheheh.. Pak Rachmad juga ndak ketinggalan unjuk suara. Tapi, keputusan panitia tak bisa diganggu gugat.    
Destinasi sudah ditentukan. Peserta udah jelas. Sekarang giliran ngitung-ngitung budget buat ke sono. Yah, namanya juga orang keuangan, jadilah penentuan anggaran mlaku-mlaku ke Bromo macam rapat anggaran dewan buat proyek apa gitu. Berikut rincian biaya hasil debat berhari-hari,
Anggaran
* Sewa mobil Panther  : Rp. 200.000,-
* BBM solar PP : Rp. 150.000,-
* Sewa mobil Land Cruiser untuk 8 orang : Rp. 450.000,-
* Tiket masuk TNBTS untuk 8 orang : Rp. 45.000,-
* Parkir mobil di Desa Wonokitri : Rp. 10.000,-
** Total Biaya (di luar MCK dan makan-minum-nyamil) : Rp. 855.000,-
Total anggaran biaya di atas lantas kami bagi berdelapan. Ketemunya angka seratus ribuan. Masih bisa diatasin, heheh..
Detik-detik menjelang keberangkatan, godaan untuk menggagalkan rencana ke Bromo makin banyak. Bapak plus Mamak kagak ngasi ijin kalo saia cabut ke Bromo. “Pokoknya, jangan ke gunung-gunung itu,” kata Bapak-Mamak tumben-tumbenan kompak, hohoho.. Jadilah aku coba beribu cara supaya bisa tetep jalan bareng man-teman, meski Bromo tak lagi jadi tujuan. “Rek, kalo seandainya kita ke Pantai Sendang Biru aja gimana?” tawarku ke para peserta. Semuanya bergeming, dan Mak-Pak maapin sekali lagi ya..
Tanggal 22 Desember 2012 jam empat sore (mbeleset dari jadwal awal) Panther warna silver sudah menunggu kami di parkiran depan kantor. Maksud hati arek-arek sih, bisa ke Bromo naik minimal Avanza supaya bisa muter lagunya Dewi Sandra yang “Godain kita dong” gitu liriknya (kalo ndak salah inget) di audio CD itu mobil. Mana Si Hafizh udah bela-belain bawa kompilasi musik dangdut remix segambreng, tabahkan perasaanmu ya, Nak. Tapi, itu rental mobil yang udah diberi panjer sama Bayu ngebatalin kontrak sepihak. Yang tersisa hanya Panther dengan lubang bekas audio CD. Mana bannya pake gembos pula, wis.. wis.. Contoh pelayanan konsumen buruk yang mudah-mudahan gak ditiru sama marketingnya Erlangga, hohoho.
Kami masuki mobil Panther dengan hati gundah-gulana untuk kemudian pertama-tama meluncur ke rumah orang tua Adjie di Desa Kejayan, Pasuruan. Sengaja kami pilih mampir dulu ke rumah Adjie. Tahulah.. heheheh.. (sambil pasang tampang menyeringai macam serigala kelaperan..)
Persis lewat sebentar dari maghrib kami sampai di depan rumah Adjie. Dari teras rumah tercium aroma masakan yang menggoda perut keroncongan kami berdelapan. Fauzi dengan wajah berbinar-binar berbisik lirih ke saia, “Tau aja keluarganya Adjie kalo kita kelaparan.”
Setelah mandi dan beberapa peserta salat jamaah, kami duduk di ruang tamu Adjie sambil dengan muka mupeng nunggu dipanggil buat makan malam, hahahah.. Oya, pas ngaso sebelum akhirnya bener-bener dijamu makan malam nikmat bikinan mamahnya Adjie, kami disuguhi jamu istimewa. Kata abangnya Adjie, itu jamu untuk meredam masuk angin pas di puncak nanti. Warna jamu yang item agak bikin ragu buat minum. Tapi, dasar otak penasaran ngalahin rasa takut buat nyobain itu jamu. Glek.. Rasanya kok mirip-mirip bir pletok ya? Setelah nanya-nanya ke mbakyu-nya Adjie, ternyata ada beberapa rempah di jamu itu yang juga dipake untuk bikin bir pletok. Bedanya cuman di kapulaga dan sejumlah bahan lain (aslinya kagak inget bahannya apa aja, yang penting pas nanya ke mbaknya Adjie gak kudenger ada kata-kata kapulaga).
Setelah kenyang makan, peserta pun pamitan ke keluarga Adjie. Sebenarnya, Hafizh agak berat ninggalin rumah Adjie. Gimana ndak berat, lha wong adek perempuannya Adjie manisnya luar biasa. Sayang masih belum wisuda dari SMP. Perjalananmu masih panjang, Fizh. Hohohoho.. Berangkat..
Meluncur dari Desa Kejayan, tujuan kami selanjutnya adalah Desa Wonokitri di kabupaten yang sama, Pasuruan. Perjalanan ke desa itu membawa memoriku dulu pas motoran malem-malem nembus hutan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bareng trio barudak bangka (Luz, Cilik, & Sigit) menuju Desa Ranu Pani. Kanan kiri gelap karena sinar bulan dihalangi pepohonan tinggi yang rapat. Bedanya, sekarang aku bersama tujuh pemuda yang sedang coba mendalami pribadi satu sama lain, heheheh.. Bedanya lagi, sekarang kami berdelapan naik mobil. Mobil yang kagak bisa nyetel lagunya Dewi Sandra, huhuhuhuhu..
Setelah sekira satu jam lebih berjalan dengan kecepatan 60 KM/jam, Panther tiba di pos penjagaan pertama. Di sini, kami diminta melapor ke petugas yang ada di dalam pos. Saia dan Adjie mewakili peserta lantas masuk ke pos. Di dalam pos, sudah ada bapak berbadan kurus dengan kumis yang lebat siap menerima kami. Dia berbicara macam agen perjalanan menawarkan paket-paket wisata menarik buat turis lokal macam kami. Begini inti informasi dari bapak kurus berkumis itu,
* Paket Pertama : Mobil Land Cruiser plus sopir dan bensin yang siap mengantar kami ke Puncak Penanjakan, terus ke lautan pasir dekat kawah Gunung Bromo, dan kembali ke parkiran umum Desa Wonokitri. Biayanya Rp. 350.000,- dengan kapasitas enam orang per mobil. Kalo ada tambahan orang maksimal dua orang dengan biaya per kepala lima puluh ribu rupiah. Karena kami berdelapan jadinya kena Rp. 450.000,-.
* Paket Kedua : dengan moda transportasi yang sama. Cuman rutenya ditambah ke Padang Savana. Padang Savana ini kata orang macam padang rumput di serial Teletubbies. Maka, jadilah padang savana itu diberi label Padang Teletubbies. Nah, kalo termasuk rute ini, ongkosnya nambah jadi Rp. 600.000,-. 
* Paket ketiga juga sebenernya ada. Tapi lupa. Habis ngeliat rupiah yang dibanderol aja udah syerem.. Hihihih..
Anda pasti bisa menebak dengan cepat dan jitu paket mana yang akhirnya kami pilih. Ya, betul.. Paket pertama. Anda memang cerdas luar biasa. Hehehehe.. Ya, ya, kami pilih paket yang pertama. Itu pun udah kembang kempis lubang hidung kami, sib-nasib..
(Oya, sebagai informasi, bagi Anda-Anda yang ngotot mau ke lokasi (Puncak Penanjakan – Lautan Pasir – Padang Teletubbies – dst) dengan mobil pribadi, datang aja ke parkiran Desa Wonokitri pas kira-kira stok persewaan Land Cruiser udah habis. Tapi, itu dengan risiko bakal melewatkan rona fajar merekah (bahasanya asoy sekali). Mungkin jam enam pagi begitulah. Kalo mau lebih asik lagi, mending naik motor sekelas Pulsar atau semacamnya. Dijamin wus-wus-wus dan jauuuhhh lebih irit. Huhuhu, jadi ngiri sama Neni Apriani dan kekasih jangkung kayak tiang listriknya.)
Well, karena jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam, alhasil kami harus meredam rasa dingin dengan cara masing-masing. Sampai, jam setengah empat dini hari, Land Cruiser yang akan kami tungganggi siap sedia.
Hafizh, Rendhi, Fauzi, dan Arie pilih habisin malam sambil banting poker. Dio mojok sambil dengerin musik. Adjie muter-muter ndak jelas. Bayu melungker di bangku tengah mobil Panther. Saia bertapa di bangku depan mobil. Oya, sebelumnya, kami pesan minuman hangat di Warung Pak Budi persis di depan parkiran. Total delapan gelas kopi dan susu cuman dihargai Rp. 25.000,-. Cukup murah buat desa yang letaknya di pucuk gunung. Slruupp.. 
Semua jurus menepis dingin sudah kulakukan. Tapi, tetep aja. Dingin. Brrr.. Bener juga kata mas-mas penjaja sarung tangan, syal, dan kaos kaki tadi pas mobil kami baru parkir. “Mbak sarung tangannya mbak sarung tangannya. Nanti tengah malam pasti dingin sekali, Mbak,” kata salah satu mas. “Wah, justru dinginnya itu yang dicari, Mas,” jawabku sok bijak, hohoho.. Padahal, aslinya cuman pingin hemat. Eh, malah kualat. Belakangan, Si Adjie beritau rahasia kalo di Toilet Umum di sisi ujung kanan tempat kami parkir mobil, sarung tangan dilepas seharga delapan ribu perak. Seandainya..
“Mbak, Mbak, bangun, Mbak,” kata Si Arie sambil deketin mukanya ke kaca mobil dan ngetok-ngetok kaca jendela. “Bangun?” pikirku. Sedari tadi juga kagak bisa tidur tau.. Hyuhyuhyu.. Brrrrr...
Kutengok jam di tangan emang udah menunjukkan posisi angka tiga lewat sekian menit. Aku angkat pantat dan korek-korek tas buat nyari sikat gigi plus odol. Biasalah, kalo pagi-pagi rongga mulut bau naga. Setelah antri sebentar di Toilet, masuk ke dalamnya, sikat gigi, keluar dan bayar dua ribu perak ke penjaga, seluruh peserta berangkat menuju Si Biru Ganteng dengan nomor lambung 094. Ehem, Land Cruiser yang kami tumpangi warnanya biru, Kawan.
Tapi, ngomong-ngomong, perasaan tadi parkiran suepi. Lah kok sekarang udah kayak pasar tumpah? We, we, we, datang dari mana ini pada anak manusia? Tapi, sebodohlah, yang penting Si Biru Ganteng yang dijokiin Pak Medi dan kami berdelapan sudah siap menyambut matahari muncul malu-malu di Puncak Penanjakan. Yeah..
Selama perjalanan, Pak Medi bercerita sedikit seputar kehidupannya. Pak Medi bilang, ia asli Suku Tengger. Saat tak menyopir, ia habiskan sebagian waktunya buat bertani di ladang miliknya. Sekarang Pak Medi sedang menanam kentang. Buat Pak Medi, kendala utama selama bertani hanyalah hama yang kerap mengganggu tanamannya. Si Biru Ganteng yang ia bawa sekarang bukan punya Pak Medi sendiri. Mobil ini punya kakak kandungnya. Kata Pak Medi, Sang Kakak lebih memilih untuk menjaga bengkel miliknya timbang jadi joki mobil. “Kasihan nanti kalau ada orang yang mencari (butuh jasa perbaikan mesin),” kata Pak Medi menjelaskan alasan kakaknya tak menyopir.
Pak Medi sudah dikaruniai dua orang anak. Anak sulungnya sedang studi administrasi pemerintahan di perguruan tinggi swasta di Malang. “Kalau saya karena orang tani ya sebenarnya ingin anaknya sekolah pertanian. Tapi, anak tidak mau. Saya tak bisa memaksakan. Nanti kalau dipaksakan juga hasilnya tidak baik. Yang penting dia bisa benar saja sama pilihannya,” tutur Pak Medi yang kusimak dengan takzim. Apa yang dilakukan Pak Medi, setali tiga uang dengan keputusan Bapak dan Mamak saat menyekolahkan kami selepas SMA. Pak Medi kemudian melanjutkan kisah ke anak bungsunya. Si bungsu masih duduk di bangku SMP. Pak Medi juga bercerita kalau di daerahnya pendidikan tak terlalu sulit diakses. “Yang tidak ada di sini itu ya cuma kalau mau melanjutkan itu dari SMA,” terang Pak Medi dengan dialek Tenggernya yang kental.  
Tak sampai setengah jam, mobil sampai di lokasi. Cerita Pak Medi berhenti. Kami berdelapan turun dari Si Biru. Dan, dimana-mana kami dapati gelap kecuali sinar lampu TL dari toko-toko yang sudah rapi jali menyambut kami yang juga ingin menyambut pagi. Subuh itu pun dingin. Kalo begini jadi rindu jaket Gore-Tex yang dipinjemin wan-kawan Mahapala dulu. Yang paling parah, ruamenya mak.. Dimana-mana asap rokok bertebaran pula. Lah, lah, niatnya nyari udara segar dapatnya asap kretek.
Setelah menunggu hampir satu jam, fajar memang muncul dari peraduannya. Tapi, jelas tak secerah momen-momen biasa (biasa dilihat di foto-foto koran dan majalah maksudnya). Mungkin ia malu. Mendapati ratusan orang berjejalan di Puncak Penanjakan demi menikmati cahayanya yang oranye keemasan. Suramnya fajar menjelang pagi, sesuram hatiku, eheheh..
Tapi, biar kata kondisi sekitar gak kondusif, angkat keker so pasti lah ya. Sudut kanan. Sudut kiri. Atas. Bawah. Semua bidang habis dilahap man-teman. Saia cuman bisa ngiler aja liat perempuan-perempuan keren nyorotin kameranya kemana-mana. Alhasil yang ada malah cuman jadi obyek aja. 1.. 2.. 3.. cekrek.. Btw, Si Rendhi yang subuh tadi sempet muntahin isi perutnya karena masuk angin, tetep masang tampang narsis mirip centeng pasar dengan kacamata hitamnya. Teruskan, Nak!
Siapa bilang ini di Puncak? Ini di Pasar!



Angel ini didapet setelah lewat dua jam ngantri :(

Baik, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Saatnya untuk isi perut dan cabut. Menu sarapan kali ini adalah mi goreng instan plus telur goreng mata sapi. Satu porsi seharga Rp. 8.000,-. Sekali lagi, harga yang pantas mengingat lokasi makan kami di puncak gunung nan tinggi.
Setelah setengah puas ngeganjal perut, kami dan Pak Medi lepas landas menuju lautan pasir dekat kawah Gunung Bromo. Jalan dari Puncak Penanjakan ke lautan pasir diisi dengan trek-trek tikungan yang tuajam buanget. Wah, aku ngebayangin pergi ke tempat ini bareng Si Christ, bagemana kira-kira hasilnya? Yang ada jungkir balik palingan. Heheheh..
Jarak yang kami tempuh dari Puncak Penanjakan ke lautan pasir ndak sampai setengah jam juga. Yang paling makan waktu, justru dari batas parkir mobil terakhir di lautan pasir ke kawah di puncak Gunung Bromo. Bapak-Bapak penjual jasa kuda langsung pasang aksi nawarin kuda nyengirnya pada kami semua yang kelihatannya jarang olahraga. “Mbak, ke tangga cuma Rp. 60.000,- pulang pergi,” kata seorang Bapak penjaja jasa kuda ke arahku. Aku cuman senyum menyeringai. Kagak tau apa eke mantan atlet panjat pohon belimbing?

Dari ki-ka : Bayu, Rendhi, Arie, Fauzi, Adjie, Senga, Dio, & Hafizh
 
Aku pandang lurus ke arah tangga yang ada nun jauh di sana. Sanggup kagak ya? Hehehehe, nyali jadi kendur sendiri. Baiklah, harus bisa. Omong-omong, tim delapan sekarang pecah jadi dua detasemen. Pertama, Si Rendhi, Arie, dan Hafizh yang pilih duduk-duduk di deket parkiran mobil. Gara-garanya, Puncak Bromo udah pernah mereka lintasi dan ketiganya mau balas dendam karena ndak merem semalaman. Tim Kedua, Bayu, Fauzi, Dio, Adjie, dan saia. Dari kelimanya, cuman Adjie yang udah sempat menjajal Puncak Bromo. Untunglah Si Adjie berbaik hati memberi guidance untuk menuju Puncak Bromo.
Selangkah, sepuluh langkah, seratus langkah, masih belum kesentuh juga itu puncak. Nyali udah mau ciut. Untung aja ada ibu-ibu paruh baya yang ngeliat cara jalannya jadi bikin semangat buat mendaki (menaiki tangga) puncak. Semangat kakak!
Dan akhirnya, tet-teret-teret, setelah ngelewatin lautan (mudah-mudahan diksi ‘lautan’ segera dievaluasi ulang karena ini hiperbol sekalee. Kenapa gak pakai istilah ‘padang’ atau ‘gurun’?) pasir dan ngantri buat naikin anak tangganya, kaki kami persis pas ada di Puncak Bromo sekarang. Kaki dekil kami berempat (Adjie putuskan antar kami sampai di persis bawah anak tangga) bersama ratusan manusia lainnya menjejali Puncak Bromo. Untung aja Bromo enggak ngamuk.  
Sebentar kami ada di puncak. Mengingat antrian orang-orang yang makin padat. Aku duluan turun lantas disusul Dio, Bayu, dan Fauzi.

5 Km

Sudah sampai di bawah anak tangga, Fauzi usul supaya kita abadikan gambar dengan angel dan komposisi macam poster film 5 Cm. Lihat hasil fotonya, kayaknya cocok diberi judul ‘5 Km’. Maksudnya itu foto 5 Km jauh ketinggal dari foto di poster film 5 Cm. Hohoho..
Oke, semua destinasi di itinerary sudah kami jelajahi. Saatnya untuk say welcome back untuk kota Surabaya tercinta. Sebelum beranjak dari parkiran di lautan pasir, kami berdelapan merekam memori bersama Pak Medi dan Si Biru tunggangannya.
Yang nomor tiga dari kanan itu Pak Medi
Yah, kalo boleh buat kesimpulan, perjalanan kali ini jauh dari harapan. Tapi, seenggaknya bisa dapat momen bareng tujuh pemuda-pemuda yang kata Si Fauzi ‘punya mimpi beda’ ini cukup memberi rasa puas. Tim yang solid memang gak bisa didapatkan dalam semalam. Moga-moga perjalanan ini bisa mengawalinya. Tenang, destinasi berikutnya Gunung Kidul di Jogjakarta. Kesampean nggak ya? Kesampean-kesampean.
Anyway, momen balik lagi ke rumah jadi trek yang paling ngeri sebenernya. Heheheh. Tapi, harus dihadapi dengan lapang dada. Toh, aku bisa ngejelasin Mamak Bapak kalo di Bromo ternyata dari batita sampe nenek-nenek delapan dekade berlomba buat capai puncaknya. Bromo mah bukan lagi wisata alam liar. Tapi, udah kayak Bonbin di pusat kota Surabaya aja. Beruntung, pas Gereja di tanggal 25 Desember 2012 pagi, Mama Nico Afinta Sukapiring, yang baru aja pulang kampung dari dinasnya di Jakarta, cerita ke Bapak kalo mau jajal Bromo lagi setelah lima belas tahun tak menapakinya. Jadilah Bapak panggil-panggil eke buat ngejelasin kondisi di Bromo ke Mama Nico. Aseekk..

thx buat teman2 saya:
-rendhi
-dio
-mbak agnes
-arie
-bayu
-adji
-fauzi

dikutip dari http://agnesgaleries.blogspot.com

2 komentar:

  1. kunjungan pertama ke blogmu yang cuanggih ini. banyak fitur-fitur keren di blog ini, kapan ada waktu aku mau kursus buat template sefuturistis inilah..

    BalasHapus
  2. siap mbak,,, kapanpun mbaknya bisa belajar,, saya juga pngn belajar sama mbaknya buat tulisan2 yang menarik seperti tulisan mbaknya... mungkin wkt hari sabtu bisa mbak,,, cz kata bapak kepala kita kan hari sabtu adalah hari krida...

    BalasHapus

About

selamat menikmati HOW MANY READING MY BLOG