Bromo. Siapa pula orang Indonesia yang tak kenal? Maksud hati
sok bertanya sih buat menyusun kesimpulan sepihak kalo semua orang Indonesia
tau apa itu Bromo. Tapi, itu kesimpulan yang ‘sembromo’, heheheh. Kenyataannya,
masih banyak warga kita yang boro-boro Bromo, presidennya aja mungkin gak (belum)
kenal.
Jadi, sebagai warga negara yang belajar jadi baik, saia dan
tujuh pemuda pecinta tanah air dari kantor berinisiatif untuk mengenal lebih
dekat Si Bromo.
Kisah bermula dari dua minggu yang lewat. Si Nur Adjie yang
balik-bolak komentar “Boseeennn...”, “Capekkk...”, dan istilah-istilah
semacamnya di dalam bilik keuangan lama-lama buat bising ini kuping. Sampai
akhirnya, muda-mudi divisi keuangannya Erlangga yang terdiri dari C. Putro
Asmoro Yanuari, Rendhi Kurniadi, Hafizh Yunanto, Bayu Putro, Dio Rifanda, dan
saia berinisiatif untuk membantu Adjie menyalurkan kepenatannya di saluran yang
benar, hohohoh..
“Ke Gunung Kelud aja, Mbak. Ada jembatan kayak Great Wall di
Cina,” kata Adjie. “Ke Ranu Klakah aja di Lumajang, nanti nginep di rumah
warga,” usul Pak Pamoedji Winoto yang eks-aktivis PA SMAN 2 Jember ikutan
nimbrung. “Gak usah ke Ranu Klakah, Mbak. Aku pernah ke sana. Tempatnya ya
biasah itu,” bisik Adjie sambil manyun-manyunin bibirnya demi ngeyakinin
kita-kita, hihihi.. Rute-rute yang diusulin memang gak jauh-jauh dari Surabaya.
Wajar aja, jatah libur dari kantor cuma seupil dan kebentur sama ibadah Natal
pula. Jadi musti pinter-pinter ngatur waktu. Hasil rembugannya, Bromo berangkat
tanggal 22 Desember, balik besok sorenya.
Awalnya, kita niat batasi peserta hanya bujang-bujang lapuk
di divisi keuangan. Tapi, karena Fauzi Ramona dari akunting ngerayu
mendayu-dayu pas di warung Bu Umi jadilah pesertanya nambah. Lagipula,
itung-itung jadi macam final gathering kita sebagai warga Erlangga. Tanggal 7
Januari 2013 nanti Fauzi persis sudah gabung di salah satu perusahaan kelapa
sawit di Jakarta.
Karena pesertanya pada lajang semua dengan usia di bawah
kepala tiga, sempat muncul kasak-kusuk di kantor. “Wah, yo ngene iki sing
tuwek-tuwek nggak diajak nang Bromo. Wedi encok’e kumat,” celetuk Pak Sanusi
guyon dalam konteks protes, eheheh.. Pak Rachmad juga ndak ketinggalan unjuk
suara. Tapi, keputusan panitia tak bisa diganggu gugat.
Destinasi sudah ditentukan. Peserta udah jelas. Sekarang
giliran ngitung-ngitung budget buat ke sono. Yah, namanya juga orang keuangan,
jadilah penentuan anggaran mlaku-mlaku ke Bromo macam rapat anggaran dewan buat
proyek apa gitu. Berikut rincian biaya hasil debat berhari-hari,
Anggaran
* Sewa mobil Panther
: Rp. 200.000,-
* BBM solar PP : Rp. 150.000,-
* Sewa mobil Land Cruiser untuk 8 orang : Rp. 450.000,-
* Tiket masuk TNBTS untuk 8 orang : Rp. 45.000,-
* Parkir mobil di Desa Wonokitri : Rp. 10.000,-
** Total Biaya (di luar MCK dan makan-minum-nyamil) : Rp.
855.000,-
Total anggaran biaya di atas lantas kami bagi berdelapan.
Ketemunya angka seratus ribuan. Masih bisa diatasin, heheh..
Detik-detik menjelang keberangkatan, godaan untuk
menggagalkan rencana ke Bromo makin banyak. Bapak plus Mamak kagak ngasi ijin
kalo saia cabut ke Bromo. “Pokoknya, jangan ke gunung-gunung itu,” kata
Bapak-Mamak tumben-tumbenan kompak, hohoho.. Jadilah aku coba beribu cara
supaya bisa tetep jalan bareng man-teman, meski Bromo tak lagi jadi tujuan. “Rek,
kalo seandainya kita ke Pantai Sendang Biru aja gimana?” tawarku ke para
peserta. Semuanya bergeming, dan Mak-Pak maapin sekali lagi ya..
Tanggal 22 Desember 2012 jam empat sore (mbeleset dari
jadwal awal) Panther warna silver sudah menunggu kami di parkiran depan kantor.
Maksud hati arek-arek sih, bisa ke Bromo naik minimal Avanza supaya bisa muter
lagunya Dewi Sandra yang “Godain kita dong” gitu liriknya (kalo ndak salah
inget) di audio CD itu mobil. Mana Si Hafizh udah bela-belain bawa kompilasi
musik dangdut remix segambreng, tabahkan perasaanmu ya, Nak. Tapi, itu rental
mobil yang udah diberi panjer sama Bayu ngebatalin kontrak sepihak. Yang
tersisa hanya Panther dengan lubang bekas audio CD. Mana bannya pake gembos
pula, wis.. wis.. Contoh pelayanan konsumen buruk yang mudah-mudahan gak ditiru
sama marketingnya Erlangga, hohoho.
Kami masuki mobil Panther dengan hati gundah-gulana untuk
kemudian pertama-tama meluncur ke rumah orang tua Adjie di Desa Kejayan, Pasuruan.
Sengaja kami pilih mampir dulu ke rumah Adjie. Tahulah.. heheheh.. (sambil
pasang tampang menyeringai macam serigala kelaperan..)
Persis lewat sebentar dari maghrib kami sampai di depan
rumah Adjie. Dari teras rumah tercium aroma masakan yang menggoda perut
keroncongan kami berdelapan. Fauzi dengan wajah berbinar-binar berbisik lirih
ke saia, “Tau aja keluarganya Adjie kalo kita kelaparan.”
Setelah mandi dan beberapa peserta salat jamaah, kami duduk
di ruang tamu Adjie sambil dengan muka mupeng nunggu dipanggil buat makan
malam, hahahah.. Oya, pas ngaso sebelum akhirnya bener-bener dijamu makan malam
nikmat bikinan mamahnya Adjie, kami disuguhi jamu istimewa. Kata abangnya
Adjie, itu jamu untuk meredam masuk angin pas di puncak nanti. Warna jamu yang
item agak bikin ragu buat minum. Tapi, dasar otak penasaran ngalahin rasa takut
buat nyobain itu jamu. Glek.. Rasanya kok mirip-mirip bir pletok ya? Setelah
nanya-nanya ke mbakyu-nya Adjie, ternyata ada beberapa rempah di jamu itu yang
juga dipake untuk bikin bir pletok. Bedanya cuman di kapulaga dan sejumlah
bahan lain (aslinya kagak inget bahannya apa aja, yang penting pas nanya ke
mbaknya Adjie gak kudenger ada kata-kata kapulaga).
Setelah kenyang makan, peserta pun pamitan ke keluarga
Adjie. Sebenarnya, Hafizh agak berat ninggalin rumah Adjie. Gimana ndak berat,
lha wong adek perempuannya Adjie manisnya luar biasa. Sayang masih belum wisuda
dari SMP. Perjalananmu masih panjang, Fizh. Hohohoho.. Berangkat..
Meluncur dari Desa Kejayan, tujuan kami selanjutnya adalah
Desa Wonokitri di kabupaten yang sama, Pasuruan. Perjalanan ke desa itu membawa
memoriku dulu pas motoran malem-malem nembus hutan di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru bareng trio barudak bangka (Luz, Cilik, & Sigit) menuju Desa Ranu
Pani. Kanan kiri gelap karena sinar bulan dihalangi pepohonan tinggi yang
rapat. Bedanya, sekarang aku bersama tujuh pemuda yang sedang coba mendalami
pribadi satu sama lain, heheheh.. Bedanya lagi, sekarang kami berdelapan naik
mobil. Mobil yang kagak bisa nyetel lagunya Dewi Sandra, huhuhuhuhu..
Setelah sekira satu jam lebih berjalan dengan kecepatan 60
KM/jam, Panther tiba di pos penjagaan pertama. Di sini, kami diminta melapor ke
petugas yang ada di dalam pos. Saia dan Adjie mewakili peserta lantas masuk ke
pos. Di dalam pos, sudah ada bapak berbadan kurus dengan kumis yang lebat siap
menerima kami. Dia berbicara macam agen perjalanan menawarkan paket-paket
wisata menarik buat turis lokal macam kami. Begini inti informasi dari bapak
kurus berkumis itu,
* Paket Pertama : Mobil Land Cruiser plus sopir dan bensin
yang siap mengantar kami ke Puncak Penanjakan, terus ke lautan pasir dekat
kawah Gunung Bromo, dan kembali ke parkiran umum Desa Wonokitri. Biayanya Rp.
350.000,- dengan kapasitas enam orang per mobil. Kalo ada tambahan orang
maksimal dua orang dengan biaya per kepala lima puluh ribu rupiah. Karena kami
berdelapan jadinya kena Rp. 450.000,-.
* Paket Kedua : dengan moda transportasi yang sama. Cuman
rutenya ditambah ke Padang Savana. Padang Savana ini kata orang macam padang
rumput di serial Teletubbies. Maka, jadilah padang savana itu diberi label
Padang Teletubbies. Nah, kalo termasuk rute ini, ongkosnya nambah jadi Rp.
600.000,-.
* Paket ketiga juga sebenernya ada. Tapi lupa. Habis ngeliat
rupiah yang dibanderol aja udah syerem.. Hihihih..
Anda pasti bisa menebak dengan cepat dan jitu paket mana
yang akhirnya kami pilih. Ya, betul.. Paket pertama. Anda memang cerdas luar
biasa. Hehehehe.. Ya, ya, kami pilih paket yang pertama. Itu pun udah kembang
kempis lubang hidung kami, sib-nasib..
(Oya, sebagai informasi, bagi Anda-Anda yang ngotot mau ke
lokasi (Puncak Penanjakan – Lautan Pasir – Padang Teletubbies – dst) dengan
mobil pribadi, datang aja ke parkiran Desa Wonokitri pas kira-kira stok
persewaan Land Cruiser udah habis. Tapi, itu dengan risiko bakal melewatkan
rona fajar merekah (bahasanya asoy sekali). Mungkin jam enam pagi begitulah.
Kalo mau lebih asik lagi, mending naik motor sekelas Pulsar atau semacamnya. Dijamin
wus-wus-wus dan jauuuhhh lebih irit. Huhuhu, jadi ngiri sama Neni Apriani dan kekasih
jangkung kayak tiang listriknya.)
Well, karena jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam,
alhasil kami harus meredam rasa dingin dengan cara masing-masing. Sampai, jam
setengah empat dini hari, Land Cruiser yang akan kami tungganggi siap sedia.
Hafizh, Rendhi, Fauzi, dan Arie pilih habisin malam sambil
banting poker. Dio mojok sambil dengerin musik. Adjie muter-muter ndak jelas.
Bayu melungker di bangku tengah mobil Panther. Saia bertapa di bangku depan
mobil. Oya, sebelumnya, kami pesan minuman hangat di Warung Pak Budi persis di
depan parkiran. Total delapan gelas kopi dan susu cuman dihargai Rp. 25.000,-.
Cukup murah buat desa yang letaknya di pucuk gunung. Slruupp..
Semua jurus menepis dingin sudah kulakukan. Tapi, tetep aja.
Dingin. Brrr.. Bener juga kata mas-mas penjaja sarung tangan, syal, dan kaos
kaki tadi pas mobil kami baru parkir. “Mbak sarung tangannya mbak sarung
tangannya. Nanti tengah malam pasti dingin sekali, Mbak,” kata salah satu mas. “Wah,
justru dinginnya itu yang dicari, Mas,” jawabku sok bijak, hohoho.. Padahal,
aslinya cuman pingin hemat. Eh, malah kualat. Belakangan, Si Adjie beritau
rahasia kalo di Toilet Umum di sisi ujung kanan tempat kami parkir mobil,
sarung tangan dilepas seharga delapan ribu perak. Seandainya..
“Mbak, Mbak, bangun, Mbak,” kata Si Arie sambil deketin
mukanya ke kaca mobil dan ngetok-ngetok kaca jendela. “Bangun?” pikirku. Sedari
tadi juga kagak bisa tidur tau.. Hyuhyuhyu.. Brrrrr...
Kutengok jam di tangan emang udah menunjukkan posisi angka
tiga lewat sekian menit. Aku angkat pantat dan korek-korek tas buat nyari sikat
gigi plus odol. Biasalah, kalo pagi-pagi rongga mulut bau naga. Setelah antri
sebentar di Toilet, masuk ke dalamnya, sikat gigi, keluar dan bayar dua ribu
perak ke penjaga, seluruh peserta berangkat menuju Si Biru Ganteng dengan nomor
lambung 094. Ehem, Land Cruiser yang kami tumpangi warnanya biru, Kawan.
Tapi, ngomong-ngomong, perasaan tadi parkiran suepi. Lah kok
sekarang udah kayak pasar tumpah? We, we, we, datang dari mana ini pada anak
manusia? Tapi, sebodohlah, yang penting Si Biru Ganteng yang dijokiin Pak Medi
dan kami berdelapan sudah siap menyambut matahari muncul malu-malu di Puncak
Penanjakan. Yeah..
Selama perjalanan, Pak Medi bercerita sedikit seputar
kehidupannya. Pak Medi bilang, ia asli Suku Tengger. Saat tak menyopir, ia
habiskan sebagian waktunya buat bertani di ladang miliknya. Sekarang Pak Medi
sedang menanam kentang. Buat Pak Medi, kendala utama selama bertani hanyalah hama
yang kerap mengganggu tanamannya. Si Biru Ganteng yang ia bawa sekarang bukan
punya Pak Medi sendiri. Mobil ini punya kakak kandungnya. Kata Pak Medi, Sang
Kakak lebih memilih untuk menjaga bengkel miliknya timbang jadi joki mobil.
“Kasihan nanti kalau ada orang yang mencari (butuh jasa perbaikan mesin),” kata
Pak Medi menjelaskan alasan kakaknya tak menyopir.
Pak Medi sudah dikaruniai dua orang anak. Anak sulungnya
sedang studi administrasi pemerintahan di perguruan tinggi swasta di Malang.
“Kalau saya karena orang tani ya sebenarnya ingin anaknya sekolah pertanian.
Tapi, anak tidak mau. Saya tak bisa memaksakan. Nanti kalau dipaksakan juga
hasilnya tidak baik. Yang penting dia bisa benar saja sama pilihannya,” tutur
Pak Medi yang kusimak dengan takzim. Apa yang dilakukan Pak Medi, setali tiga
uang dengan keputusan Bapak dan Mamak saat menyekolahkan kami selepas SMA. Pak
Medi kemudian melanjutkan kisah ke anak bungsunya. Si bungsu masih duduk di
bangku SMP. Pak Medi juga bercerita kalau di daerahnya pendidikan tak terlalu
sulit diakses. “Yang tidak ada di sini itu ya cuma kalau mau melanjutkan itu
dari SMA,” terang Pak Medi dengan dialek Tenggernya yang kental.
Tak sampai setengah jam, mobil sampai di lokasi. Cerita Pak
Medi berhenti. Kami berdelapan turun dari Si Biru. Dan, dimana-mana kami dapati
gelap kecuali sinar lampu TL dari toko-toko yang sudah rapi jali menyambut kami
yang juga ingin menyambut pagi. Subuh itu pun dingin. Kalo begini jadi rindu
jaket Gore-Tex yang dipinjemin wan-kawan Mahapala dulu. Yang paling parah,
ruamenya mak.. Dimana-mana asap rokok bertebaran pula. Lah, lah, niatnya nyari
udara segar dapatnya asap kretek.
Setelah menunggu hampir satu jam, fajar memang muncul dari
peraduannya. Tapi, jelas tak secerah momen-momen biasa (biasa dilihat di
foto-foto koran dan majalah maksudnya). Mungkin ia malu. Mendapati ratusan
orang berjejalan di Puncak Penanjakan demi menikmati cahayanya yang oranye
keemasan. Suramnya fajar menjelang pagi, sesuram hatiku, eheheh..
Tapi, biar kata
kondisi sekitar gak kondusif, angkat keker so pasti lah ya. Sudut kanan. Sudut
kiri. Atas. Bawah. Semua bidang habis dilahap man-teman. Saia cuman bisa ngiler
aja liat perempuan-perempuan keren nyorotin kameranya kemana-mana. Alhasil yang
ada malah cuman jadi obyek aja. 1.. 2.. 3.. cekrek.. Btw, Si Rendhi yang subuh
tadi sempet muntahin isi perutnya karena masuk angin, tetep masang tampang
narsis mirip centeng pasar dengan kacamata hitamnya. Teruskan, Nak!
![]() |
Siapa bilang ini di Puncak? Ini di Pasar! |
![]() |
Angel ini didapet setelah lewat dua jam ngantri :( |
Baik, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Saatnya
untuk isi perut dan cabut. Menu sarapan kali ini adalah mi goreng instan plus
telur goreng mata sapi. Satu porsi seharga Rp. 8.000,-. Sekali lagi, harga yang
pantas mengingat lokasi makan kami di puncak gunung nan tinggi.
Setelah setengah puas ngeganjal perut, kami dan Pak Medi
lepas landas menuju lautan pasir dekat kawah Gunung Bromo. Jalan dari Puncak
Penanjakan ke lautan pasir diisi dengan trek-trek tikungan yang tuajam buanget.
Wah, aku ngebayangin pergi ke tempat ini bareng Si Christ, bagemana kira-kira
hasilnya? Yang ada jungkir balik palingan. Heheheh..
Jarak yang kami tempuh dari Puncak Penanjakan ke lautan
pasir ndak sampai setengah jam juga. Yang paling makan waktu, justru dari batas
parkir mobil terakhir di lautan pasir ke kawah di puncak Gunung Bromo. Bapak-Bapak
penjual jasa kuda langsung pasang aksi nawarin kuda nyengirnya pada kami semua
yang kelihatannya jarang olahraga. “Mbak, ke tangga cuma Rp. 60.000,- pulang
pergi,” kata seorang Bapak penjaja jasa kuda ke arahku. Aku cuman senyum
menyeringai. Kagak tau apa eke mantan atlet panjat pohon belimbing?
Dari ki-ka : Bayu, Rendhi, Arie, Fauzi, Adjie, Senga, Dio, & Hafizh |
Aku pandang lurus ke arah tangga yang ada nun jauh di sana.
Sanggup kagak ya? Hehehehe, nyali jadi kendur sendiri. Baiklah, harus bisa. Omong-omong,
tim delapan sekarang pecah jadi dua detasemen. Pertama, Si Rendhi, Arie, dan
Hafizh yang pilih duduk-duduk di deket parkiran mobil. Gara-garanya, Puncak
Bromo udah pernah mereka lintasi dan ketiganya mau balas dendam karena ndak
merem semalaman. Tim Kedua, Bayu, Fauzi, Dio, Adjie, dan saia. Dari kelimanya,
cuman Adjie yang udah sempat menjajal Puncak Bromo. Untunglah Si Adjie berbaik
hati memberi guidance untuk menuju Puncak Bromo.
Selangkah, sepuluh langkah, seratus langkah, masih belum
kesentuh juga itu puncak. Nyali udah mau ciut. Untung aja ada ibu-ibu paruh
baya yang ngeliat cara jalannya jadi bikin semangat buat mendaki (menaiki
tangga) puncak. Semangat kakak!
Dan akhirnya, tet-teret-teret, setelah ngelewatin lautan
(mudah-mudahan diksi ‘lautan’ segera dievaluasi ulang karena ini hiperbol
sekalee. Kenapa gak pakai istilah ‘padang’ atau ‘gurun’?) pasir dan ngantri
buat naikin anak tangganya, kaki kami persis pas ada di Puncak Bromo sekarang. Kaki
dekil kami berempat (Adjie putuskan antar kami sampai di persis bawah anak
tangga) bersama ratusan manusia lainnya menjejali Puncak Bromo. Untung aja
Bromo enggak ngamuk.
Sebentar kami ada di puncak. Mengingat antrian orang-orang
yang makin padat. Aku duluan turun lantas disusul Dio, Bayu, dan Fauzi.
Sudah sampai di bawah anak tangga, Fauzi usul supaya kita
abadikan gambar dengan angel dan komposisi macam poster film 5 Cm. Lihat hasil
fotonya, kayaknya cocok diberi judul ‘5 Km’. Maksudnya itu foto 5 Km jauh
ketinggal dari foto di poster film 5 Cm. Hohoho..
Oke, semua destinasi di itinerary sudah kami jelajahi. Saatnya
untuk say welcome back untuk kota Surabaya tercinta. Sebelum beranjak dari
parkiran di lautan pasir, kami berdelapan merekam memori bersama Pak Medi dan
Si Biru tunggangannya.
Yang nomor tiga dari kanan itu Pak Medi |
Yah, kalo boleh buat kesimpulan, perjalanan kali ini jauh
dari harapan. Tapi, seenggaknya bisa dapat momen bareng tujuh pemuda-pemuda
yang kata Si Fauzi ‘punya mimpi beda’ ini cukup memberi rasa puas. Tim yang
solid memang gak bisa didapatkan dalam semalam. Moga-moga perjalanan ini bisa
mengawalinya. Tenang, destinasi berikutnya Gunung Kidul di Jogjakarta.
Kesampean nggak ya? Kesampean-kesampean.
thx buat teman2 saya:
-rendhi
-dio
-mbak agnes
-arie
-bayu
-adji
-fauzi
dikutip dari http://agnesgaleries.blogspot.com
kunjungan pertama ke blogmu yang cuanggih ini. banyak fitur-fitur keren di blog ini, kapan ada waktu aku mau kursus buat template sefuturistis inilah..
BalasHapussiap mbak,,, kapanpun mbaknya bisa belajar,, saya juga pngn belajar sama mbaknya buat tulisan2 yang menarik seperti tulisan mbaknya... mungkin wkt hari sabtu bisa mbak,,, cz kata bapak kepala kita kan hari sabtu adalah hari krida...
BalasHapus